Mutiara Gontor : Ukhuwwah-1

By Admin


Mutiara Gontor

Ukhuwwah-1

Di atas tembok setinggi ± 1 meter, tempat tiang bendera utama pondok melekat, tepat di depan Balai Pertemuan Pondok Modern (BPPM), itu Pak Sahal biasa duduk-duduk menghadap ke arah utara sambil berdzikir, menghabiskan waktu paginya, dan berjemur, antara pukul 07.00–08.00 WIB. Beliau biasa mengenakan pakaian kebesaran; kemeja, sarung, jas hitam, sorban putih yang menutupi sebagian mukanya, dan kopiah hitam. Sebuah lepak (‘tempat rokok’) terselip di saku jasnya. Begitu beliau duduk di atas tembok itu, lepak dikeluarkan, sebatang rokok disulut. Gelembung asap melambung ke udara. Habis dua atau tiga batang rokok putih, beliau turun, lantas menyeret kursi kesayangannya ke rumah Pak Zarkasyi, naik ke teras, kemudian duduk di kursi rotan teras rumah itu.

Tak lama, Pak Zar keluar rumah menyambutnya. Hampir sama cara berpakaiannya. Hanya, Pak Zar tidak menutupkan sorban putih ke kepalanya, melainkan mengalungkannya di leher, menutupi leher, celah yang masih sedikit terbuka di antara jas dan kemejanya. Maklum, dalam usia sekian itu, kedua beliau sangat mudah masuk angin, yang mengharuskannya berpakaian seperti itu.

Jika diamati, di saku jas Pak Zar terselip dua ballpoint beda warna, hitam dan merah. Masing-masing pena memiliki fungsi yang berbeda. Ballpoint berwarna hitam berfungsi sebagai eksekusi, mengingat beliau adalah pemilik sebagian besar otoritas di Pondok, seperti menandatangani surat penting, ijazah, raport siswa, dsb. Sedangkan ballpoint bertinta merah berfungsi koreksi. Sebagai guru, beliau adalah orang yang paling rajin mengoreksi, dengan teliti dan hati-hati. Tinta merah yang tergores bermakna seribu pelajaran. Bagi yang pernah mendapat koreksi dari beliau di buku tulisnya, pasti akan mengenang, bahkan menyimpannya sebagai “jimat”. Bagi beliau, selain pelajaran, coretan tinta merah pada pekerjaan murid adalah kenang-kenangan tanda cinta seorang guru. Maka, menurut Pak Zar, di antara ciri guru yang baik dan sukses adalah jika dia rajin mengoreksi pekerjaan muridnya.

Oh iya, tempat duduk kedua beliau seperti itu, memang, demikian adanya. Pak Zarkasyi berada di sebelah timur, duduk di bangku panjang —kadang berdiri—, sedangkan Pak Sahal di kursi rotan, di sebelah baratnya. Dengan begitu, jika Pak Sahal merokok, angin yang berhembus dari arah timur akan segera menghalau asapnya. Pak Zar pun akan terbebas dari asap rokok. Namun, amat jarang terlihat, ketika duduk-duduk di teras rumah itu, Pak Sahal menyulut rokoknya.

Dalam pertemuan pagi itu, siapa saja bisa memulai percakapan. Pak Sahal, misalnya, akan melontarkan pertanyaan, apakah Pak Zar sudah membaca koran yang dikirim melalui pesuruhnya semalam. Lantas, obrolan pun akan dimulai seputar isi koran, yang isinya bisa tentang politik, agama, sosial, atau pendidikan. Pak Zar menimpali dengan berita radio yang baru didengarkannya pagi itu, bahwa Libia berada di ujung tanduk karena akan mencaplok Chad. Perbincangan politik keduanya sangat tajam, dapat melampaui analisis ahli politik masa kini.

Kedua Pendiri Pondok itu sangat well inform. Selain koran harian, seperti Kompas, Sinar Harapan, atau Pelita, yang pasti selalu sampai ke tangan beliau, juga ada majalah Panji Masyarakat, Kiblat, atau terkadang Tempo; tambah lagi, radio. Obrolan ringan tentang keluarga masing-masing, atau cerita alumni dapat pula menjadi bahan pembicaraan yang mengasyikkan.

Tak lama setelah itu, boleh jadi ada satu dua orang alumni yang datang menghadap, dan diterima. Mereka bercerita tentang kiprah atau peranan masing-masing di masyarakat, tentu saja yang bermanfaat bagi sesama. Itu pertanda mereka tengah memamerkan ijazahnya. Bahwa, ilmu dan pendidikan yang pernah mereka peroleh dari Gontor, dari Kyai, bermanfaat bagi masyarakat, bahkan juga memberikan penghidupan, manfaat, berkah, dan kehormatan bagi dirinya.

Apa yang dilakukan Pak Sahal dan Pak Zar itu adalah bukti dan contoh nyata pendidikan ukhuwwah Islamiyah. Siapapun (santri maupun guru) dapat dengan mudah melihat dan mencontohnya. Bahkan, dengan jujur, Pak Zar mengakui, bahwa apa yang dilakukan dengan Pak Sahal itu terinspirasi oleh kemajuan organisasi Muhammadiyah Cabang Surakarta. Hal itu karena para pengurusnya mengharuskan bertemu di kantor setiap hari, baik ada maupun tidak ada masalah, sehingga komunikasi berjalan lancar, tidak ada saling curiga. Pertemuan itu juga akan menghapus sekatan, rasa curiga satu sama lain. sekaligus, mendidik para santri dengan contoh nyata.

Sebentar siang, keduanya akan mengakhiri percakapan. Pak Sahal akan turun dari teras, kembali berjalan, menyeret kursinya keliling pondok. Sementara itu, Pak Zar akan masuk rumah untuk mandi, berganti pakaian, kemudian mengajar. Begitu selama bertahun-tahun beliau lakukan. Semoga bermanfaat! 

Kuotasi: 

“Guru yang baik dan sukses adalah jika dia rajin mengoreksi pekerjaan muridnya.” 

Bagi Gontor, ijazah bukanlah apa yang diberikan lembaga pendidikan kepada anak didiknya, melainkan apa yang bisa dipamerkan alumni kepada pondok dan Kyainya, sebagai bukti ilmunya bermanfaat. 

“Organisasi yang hidup adalah apabila pengurusnya selalu bertemu setiap hari, ada maupun tidak ada masalah.” (K.H. Imam Zarkasyi)


Buyut Makkah, Pebruari 2018.